
Orang baik punya masa lalu, orang jahat punya masa depan.
Sambil melipat sarung, akhirnya saya mengeluarkan kalimat itu. Ketika Andi masih terbengong, saya terus menimpali. “Selalu ada kesempatan kedua, ketiga dan kesempatan lainnya untuk seseorang berubah.” Saya memisalkan Sayyidina Umar bin Khatab, orang yang sangat membenci dan memiliki naluri ingin menghabisi Rasulullah, tetapi berbalik menjadi orang yang paling depan memasang badan membela Rasulullah. Tentu banyak lagi kisah kesempatan kedua dan titik balik lain dari tokoh-tokoh yang berbeda.
Semalam Andi dan istrinya, datang ke rumah. Sudah lama dia tak ke rumah. Buat teman-teman yang sudah menikah saya selalu paham bahwa fokusnya sudah beda. Menikah dengan banyak tambahan tanggung jawab tidak sederhana. Proses adaptasinya perlu banyak energi dan waktu, jadi saya paham kalau Andi jarang ke rumah. Tempat dia hampir menghabiskan waktunya di kala masih sendiri.
Dia datang bersama Badai. Ya, nama istrinya Badai. Jadi semalam ada Taufan dan Badai di rumah saya. Luar biasa. Mengutip cerita Buya HAMKA, konon kita adalah apa yang kita pikirkan. Ketika datang seseorang padanya dan bilang, di Mekkah juga ada pelacur berjilbab, Buya. Dengan senyum, Buya pun bercerita ketika ke San Francisco, Amerika Serikat, kota gemerlap megapolitan dunia, dia tak menemukan seorang pun pelacur di sana. “Kok bisa, Buya?” Karena kita adalah apa yang kita pikirkan, ketika pikiranmu mencari pelacur, maka di kota sesuci apa pun kamu akan menemukannya. Tetapi bila pikiranmu terbebas dari pikiran itu, di kota terburuk, terbebas, gemerlap pun tak akan kamu temukan seorangpun pelacur.
Dalam setiap pertemuan, tanpa kesepakatan tertulis, kita duduk untuk saling bercerita dan saling membahagiakan. Dalam otak kita, saya dan yang datang siapa pun itu, dua hal itulah yang penting. Kesediaan mendengar dan keleluasaan bercerita. Tidak ada sekat dan syarat khusus. Cerita mengalir begitu saja, kok bisa? Karena tak ada jenjang, tingkatan atau privilege tertentu. Walaupun saya paling tua di antara yang datang, usia bukan halangan untuk berterus terang. Karena kesepahaman yang disepakati tanpa syarat tadi. Ketika ada yang bercerita yang lain mendengarkan.
Saat ceritanya terlalu sedih, maka yang lain akan menghadirkan kebahagiaan. Hingga cerita menjadi penuh makna walau dengan bercanda. Paradoks bisa ditertawakan. Ironi bisa dihadirkan dengan jenaka. Demikianlah, suasana FUN Institute dari dulu… menjadi diri sendiri adalah bahagia tiada terperi. Dan malam tadi, Andi bisa mengata-ngatai teman-temannya senasib ketika masih gentayangan di Ndalem Kunciran, markas FUN Institute seperti Agus, Ikal, Soson dan yang lain dengan kata-kata dahsyat;
“Masalah lu tuh kecil, gue tuh setiap hari menghadapi Badai…”
Badai adalah nama istrinya Andi. Perempuan yang disuntingnya beberapa tahun lalu. Sebuah ungkapan bercanda, tidak serius. Tapi penting. Bahwa semua rumah tangga itu memiliki ujiannya masing-masing. Kreativitas mengatasi masalah itulah yang sering dibagi dan ceritakan di rumah ini. Rumah mereka, rumah yang membawa mereka punya cerita hari ini. “Semua masalah ada solusinya, karena memang dalilnya begitu. Bersama kesulitan disertakan juga kemudahan. Seperti juga setiap pertanyaan ada jawabannya…” kata saya, “Walaupun jawaban itu adalah ‘nggak tahu’.”
Semalam, bukan hanya Andi dan Badai yang datang. Tapi juga Agus yang waktu lebaran sudah lebih dulu datang bersama istri dan anak-anaknya. Nanti lah saya cerita lagi… [tef]